Pages

Sabtu, 31 Juli 2010

Setengah purnama (lagi)

Tak lama lagi, sebentar setelah separuh purnama menyinari gelap hatiku, kau akan kembali dari medan tempur yang mungkin sangat melelahkan. Aku tahu kau tak mungkin lupa jalan pulang menuju istanamu, tapi aku tak yakin kau masih ingat bahwa ada aku yang menunggumu disini. Bukan di istanamu, tapi di remang pojok hatimu. Maka, untuk semua itu aku ingin mengucapkan, “selamat dating, duhai riuh gemuruh sukmaku…”
Malam ini, bulan seperti celurit tebal yang menantang. Setelah kuhitung jari, ah, sudah tinggal seperempat purnama lagi. Benar-benar sebentar lagi. Tapi, bentuk bulan yang seperti itu adalah symbol keberanian dan keangkuhan bagi orang Madura. Lalu masihkah kau tetap saja angkuh dengan perasaanmu seperti saat itu ketika kau tak mengakui perasaanmu, toh, meskipun aku tahu pasti bahwa kau tak bisa membohongiku? Dan ketika kau mulai menampakkannya, dengan cepat kau menyembunyikannya lagi! Apa ini yang kau inginkan? Huhu, dunia memang permainan. Tapi cinta? Hanya butuh kejujuran!!!


Dan terpaksa, meski aku bukan penyuka lagu dangdut, aku ingin bernyanyi sekali ini saja, “lebih baik kau bunuh aku dengan pedangmu, dari pada kau bunuh aku dengan cintamu…”. (Ah, kurang ajar, kau telah membuatku terlalu berlarut diri dalam kubangan api rinduku yang melalap habis kesadaranku!).
Maka, setelah kau beristirahat sejenak, menghilangkan segala penat yang selama berbulan-bulan ini kau racik dari air mata dan perjuangan, masihkah kau mengingatku bahwa ada orang di pojok hatimu yang ingin kau sapa? Masihkah? Aha, atas dasar apa aku menanyakan ini semua? Aku sama sekali tak memaksamu untuk kembali mengingat romantisme sejarah yang lalu, tapi jika kau mengingatnya, setidaknya kau telah memberiku tambahan semangat untuk bangkit memelukmu! Meski setelah itu kau akan membunuhku! Silahkan saja… perbuatlah sesukamu… nikmatilah sepuasmu…
Aku disini hanya ingin tersenyum menikmati kepasrahanku!

Kutitip rindu pada sesajakan tumbang di tebang malam
Rindu menggeliat diantara rerumpun kata
Menyisakan delerai duka pada tetes airmata yang mengalir diantara jenak-jenak diamku
Tangisan kata tumpah menyeruak memecah keheningan
Membasahi jiwaku yang kering kerontang

Jika pada tiap nada tersirat cinta
Dan cinta harus dengan kata
Maka, aku pasti diam saja!

Ah, kebingungan ini adalah pilihan demi merenda makna pada robekan dunia

Carilah di tengah pecahan hidup yang terserak di mana tempat ada,

Lalu, rinduku bagaimana?

Bartir, 20 juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar