Pages

Sabtu, 31 Juli 2010

Menyesakkan!

Menunggu kedatanganmu, begitu menyesakkan!. Aku tak lebih dari seorang terdakwa yang sedang menunggu ketukan palu hakim atas kasus yang disidangkan. Semilir angin yang menyejukkan tak mampu merinaikan gundah yang menghunjam perlahan. Tiap kali aku ingat wajahmu, adrinalinku seperti dipompa mesin berkekuatan penuh hingga jantungku pun tak lagi berdetak normal. Mengingat bahwa, dari manis bibirmu itulah akan mengalir sebuah keputusan; sekarang atau tidak sama sekali!

Berada pada kondisi seperti ini, seperti yang bisa dilakukan lantaran ketakberdayaan, aku pasrah saja. Berharap dengan itu, setidaknya mampu sedikit medeleraikan kucuran keringat kepenatan yang sering menyiksaku tanpa perasaan. Berharap dengan itu, akan sedikit mengurangi beban tertahan. Berharap dengan itu, mampu melukis garis-garis senyum pada wajahku yang telah lama meremang. Lantaran aku tahu bahwa dalam hal ini aku tak layak kau salahkan, sama sekali tak layak. Tapi aku tahu, ini bukan siapa yang benar dan siapa yang salah. Ini tentang perasaan, Bro!
Kepasrahan yang total. Ya, pasrah pada manis bibirmu. Pasrah pada sejuk bening matamu. Pasrah pada sketsa geliat anggunmu. Aku tak mau melawannya, karena bagiku itulah perlawanan sesungguhnya untuk sedikit mengalahkan ego dan keangkuhanmu. Aku tak mau menjawabnya, karena diamku akan sangat cukup menjelaskan jika kau benar-benar memahaminya. Aku tak ingin menjelaskan apapun untuk kembali merayumu, karena sejak dulu, setahuku dan kamu juga pasti tahu, aku tak pernah mencekokimu dengan kata-kata bersayap yang hiperbolis untuk menyanjungmu. Selain kau memang tak menyukainya, aku memang tak berhasrat melakukannya. Aku tak melakukan itu kecuali mengagumi sifat, budi, dan perangaimu, yang jika mau jujur, akhir-akhir ini aku menganggapnya terlalu berlebihan. Tapi aku harap semuanya masih sama seperti dulu.
Menunggu kedatanganmu, benar-benar menyesakkan!.

Padaku kau datang di pagi buta
Saat lentik jemariku belum sempurna melukis segaris luka
Debur hatiku terampas sunyi
Lalu kau taburkan bunga rampai asmara
Menusuk tepat di jantung dada
Maka, pada lelembaran itu kupagut imaji pada titik pagi

Kalau boleh kupinta
Datanglah di setiap pagi buta
Menaburkan harum bidadari tujuh bunga
Bawakan padaku secawan anggur cinta
Biar kureguk demi mengejek setiap duka

Kesinilah,
Sebelum jilatan angkuh matahari merampasmu dalam ketakberdayaanku

Ini bukan puisi, tapi do’a dan harapan. Ini bukan rayuan, tapi hanya sedikit ungkapan ketakberdayaan.
Menunggumu kedatanganmu, biarkan aku tersenyum!

Bartir, 25 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar