Dan, biar saja tetap seperti ini, karena rasa rindu yang mendera sekaligus rasa sakit yang kukecap, setidaknya mengabarkanku bahwa hingga saat ini pun kau masih ada. Setidaknya, aku masih bisa membayangkan sejuk bening matamu yang sayu, seperti menatapku meski tak pernah ada bahasa apapun yang diisyaratkan kecuali semuanya seperti biasa saja. Mengalir seperti air, menggelinding seperti bola. Aku tahu ini menyiksa, aku mengerti kau tak bermaksud apa-apa. Tapi sekali lagi kau sama sekali tak berhak menyandra imajiku tentang semua hal yang berkaitan denganmu!. Itu saja…
Ah, pada kondisi seperti ini, aku teringat pesan karibku dulu ketika suatu kali aku sempat menyentil tentang semua yang terjadi padaku. Dengan santai ia bilang, “… dramatisir saja, poh! Dramatisir kan tidak harus munafik. Ia bisa dilakukan dengan mengalihkan persepsi temporal kita menuju kepura-puraan yang memalingkan, paling tidak kamu harus sering tersenyum…!”. Meski aku tak terlalu paham dengan kalimat itu, tapi aku berusaha untuk mengamalkan kata-kata yang terakhir, yaitu harus sering tersenyum. Ya, aku harus tersenyum, meski senyum ini lebih tepat dimaknai sebagai sebuah ejekan atas kepengecutan yang kulakukan. Dan pada saat itu, bukankah itu artinya aku harus munafik? Ah, lagi-lagi munafik!. Tapi ada yang bilang bahwa kadang untuk menjadi bijak memang kita harus sedikit hipokrit. Tapi, harus sampai kapan terus menerus hidup dalam bayang-bayang kemunafikan untuk memaksakan diri melupakan sejuk bening matamu yang sering kali merinaikan gejolak dalam batinku? Berada pada jarak satu mil dari hati nurani, memang harus tega!
Sesejuk bening matamu, aku diam membisu. Mencoba menjulurkan imajiku lagi pada tiap jengkal jiwamu. Sungguh, sesakit apapun yang kau lakukan padaku, sejuk bening matamu mampu menetralisir semuanya. Dan aku, seperti biasa, bertekuk lutut tepat di bawah garis pandangan matamu yang indah itu. Sungguh memalukan untuk jiwa maskulinku!. Tapi, aku pikir, semuanya memang harus seperti itu. Lantaran aku yaqin bahwa suatu saat bening matamu itu akan kunikmati setiap hari, dan kau akan menjadi milikku meski dalam ketakberdayaanku nanti.
Ya, kepasrahan ini, aku yakini sebagai jalan untuk membuatmu juga memasrahkan hatimu padaku. Benar mungkin apa yang salah seorang teman perempuanku katakan, “cuekin saja… liat, apa dia bisa menahan semua kebohongan hatinya untuk menjauhimu. Puaskah?”… bagus, kawan… Itu yang aku tunggu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar