Setelah melaksanakan ritual jabat tangan, mengharapkan maaf dari semua orang, di malam yang suci dan indah ini, izinkan aku mengabarkan rindu yang teramat dalam untukmu, izinkan aku memandangmu di kejauhan sana (seperti yang kau bilang padaku waktu itu!). Ini barangkali sangat tidak pantas, tapi semua yang seharusnya saya lakukan pada malam nisfu Sya’ban ini sudah saya lakukan. Lantas, apakah salah kalau aku mengirimkan sejumput rindu ini? Mungkin saja tidak…
Ya, mungkin solusinya klasik; sabar, sabar, dan sabar! Mungkin saja, barokah malam ini akan menuntunnya untuk kembali bemuhasabah dengan semua yang terjadi dan bahwa aku masih sangat mencintainya. Meskipun semuanya mungkin tidak akan merubah apapun cerita tentang kita, tapi aku harap masih akan ada kejutan dan keajaiban. Aku percaya itu…
Kembali tentang rindu di malam yang penuh maghfiroh ini, sebenarnya sangat sederhana. Tapi kelindannya yang sudah terlalu lama menghiasi hidupku, benar-benar menyiksa. Jangankan cara paling sulit, cara paling mudah untuk membuangmu pun aku tak tahu. Semuanya hanya dengung-dengung kecil yang tak mampu tersuarakan menjadi kata-kata. Ah, bukankah kata-kata sering kali munafik? Ya, saat ini pun aku sedang hipokrit, mencoba munafik pada kenyataan bahwa ceritaku tak seindah dulu lagi. Tapi bukankah aku masih punya harapan? Dan inilah yang aku harapkan di malam yang penuh dengan rahmah ini, aku mengharap Rahmah-Mu.
Kemarin aku bertanya pada teman karibku, apa obat paling sederhana jika patah hati? Ia menjawab; LUPAKAN!. Lalu aku tanya lagi, bagaimana cara paling sederhana untuk melupakan? Ia menjawab dengan santainya, JANGAN DIINGAT! Ah, jawaban yang membuatku sedikit kesal. Tapi, setelah lama terdiam, itu sangat benar. Aku tinggal melupakannya, Selesai! Tapi yang namanya tindakan selalu tak semudah teori yang hanya cukup dengan diucapkan!
Maka, di malam yang indah ini, aku tidak hanya ingin membicarakan tentang rindu, tapi juga tentang air mata. Air mata yang tiap kali mengalir ketika kulihat sejuk bening di teduh matamu. Dan saat itu, kau malah tersenyum tersipu. Malu-malu melirikku, malu menertawai kecengenganku. Silahkan, lakukan semaumu, aku akan tetap memandangmu. Dan munkin terlalu mudah bagimu untuk melupakanku, tapi jangan paksa aku untuk tidak mengingatmu…
Huh, kenapa dalam tulisan-tulisanku kali ini aku menjadi orang yang super lebay? Ugh…
Dalam rentang waktu yang panjang,
Aku menunggumu dalam kekalutan…
Dan jika diperkenankan,
Izinkan aku sejenak bernafas,
Menuliskan delerai air mata pada tiap bait kerinduanku
Maka, masihkah kau tidak memahaminya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar