Dan lantaran tulisan berjudul “Membangun Semangat Persaudaraan dalam Kebudayaan Indonesia” yang tebalnya delapan lembar, saya benar-benar akan menikmati ibu kota Negara ini, Jakarta. Kota yang katanya kejam. Kota yang konon “langitnya lebih biru”. Kota yang penuh warna, cerita, dan neraka!. Heh…
Berdasarkan surat yang datangnya dari Dikmenum, saya harus sudah sampai di Jakarta kira-kira kalau tidak salah tanggal 13 Agustus 2006 untuk check in kamar di wisma Handayani Jl. RS Fatmawati, Cipete, Jaksel (kantor Disdakmen Depdiknas). Yang membuat saya lumayan bingung, semua peserta harus membawa seragam sekolah masing-masing, harus membawa seragam olahraga, dan peralatan lainnya dimana uniform serta pernak-pernik seperti itu tidak saya miliki lantaran di pondok pesantren, para santri pergi sekolah dengan menggunakan sarung!, haha, sarung dan peci dengan tanpa tas, kawan… lalu bagaimana ini tidak lucu? (kalian mungkin juga akan sedikit tersenyum untuk yang satu ini).
Maka, saya pun menyiapkan segala sesuatu yang harus dibawa. Untuk seragam sekolah, saya meminjam punya sepupu yang sekolahnya di SMA. Mulai dari sepatu, sabuk, hingga celana khas berwarna biru langit, kecuali kaos kaki. Untuk baju putih dengan sangat terpaksa saya meminjam punya teman yang masih polos benar kecuali hanya lambang OSIS yang ada di luar saku sebelah kiri. Tidak seperti kepunyaan sekolah lain yang dipenuhi dengan bedge di lengan, bahkan tanda pengenal yang menempel di dada bagian kanan. Untuk seragam olahraga? Haha, saya pinjam punya sepupu di pondok. Bukan seragam olahraga di sekolah, tapi seragam sepakbola persatuan santri Sumenep dan dengan ‘norak’ banget (maaf) bertuliskan Persu. Setelah siap, semuanya saya masukkan ke dalam tas bersama pakaian lain, kamera (yang juga pinjam punya Gufron), peralatan mandi, buku-buku, foto copy tulisan saya, surat keterangan dari sekolah, dll.. terasa sedikit mudah karena saya mempunyai waktu sekitar seminggu untuk mempersiapkan semuanya. Mulai dari apa yang mau dibawa, berapa uang sakunya, sampai pada persiapan untuk menguatkan elektabilitas alias “sangu spiritual” dari berbagai guru saya.
Sedikit kepikirannya mungkin karena ini adalah perjalanan saya pertama kali ke Jakarta, membawa nama sekolah dan almamater. Ada semacam tanggung jawab besar yang membebani pundak saya. Ini bukan lomba se-Madura dimana saya sudah dua kali mengalaminya dan juara, ini nasional, kawan… nasional! Dan Senangnya, semua biaya akomodasi GRATIS!. Mulai dari berangkat sampai pulang lagi ke “kampung halaman”.
Seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa ada tiga orang dari Madura yang menjadi wakil Jawa Timur, dan satu orang lainnya dari Malang. Ketiga orang itu adalah; saya (MA Mambaul Ulum Bata-Bata), Fawaid, Ismail Aden (keduanya wakil dari MAK An-Nuqoyah Guluk-Guluk). Dan ini sangat surprise bagi saya, karena dengan dua orang itu saya sudah bertemu sebelumnya di final lomba mengarang juga. Boleh dibilang, kami adalah para “pembalap” dengan lapangan berupa lomba menulis non-fiksi.
Untuk Fawaid, saya sudah dua kali bertemu dengannya. Pertama, tahun 2005 ketika saya baru pertama kalinya ikut lomba mengarang se-Madura yang diadakan oleh BEM IDIA AL-Amien Prenduan. Bahkan boleh dibilang, ia adalah guru saya, yang mengajari saya pertama kali cara presentasi. Maklum, waktu itu saya ikut lomba yang pertama kalinya dan Fawaid mungkin sudah “pemain” lama. Anehnya, dia tidak juara, dan justru saya yang menjadi juara II. Barangkali ini bisa dikategorikan sebagai keajaiban, karena benar-benar min haysu laa yahtasib… Kedua, saya bertemu dengannya di final lomba mengarang se-Madura juga yang diadakan oleh BEM UIM Pamekasan. Dia juara satunya, saya juara duanya. Di final inilah saya juga bertemu dengan Ismail Aden. Ketiga, ya, di finalis lomba mengarang ini, juga bersama Ismail. Keempat, finalis pada lomba menulis essai dalam rangka Festival Cinta Buku oleh BEM STIKA An-Nuqoyah Guluk-Guluk, sama-sama juara juga.
Selanjutnya, sesuai kesepakatan dengan semua finalis dari Madura, kami mau berangkat bersama-sama. Sayangnya, untuk Ismail tidak bisa berangkat bersama lantaran ia sudah berada lebih dulu di Jakarta untuk kuliah di UIN, katanya ia menunggu kami berdua di Jakarta. Maka, hanya saya dan Fawaid yang berangkat bersama.
Lalu bagaimana?
Ini kehidupan sehari-hari kamu, Fif???
BalasHapusSubhanallah... Saya bnr2 mupeng!!!!
dua jempol!