Dulu, seorang kakek jenius dari Prancis bernama Jean-Paul Sartre yang terkenal dengan eksistensialisme-nya pernah berkata bahwa hidup ini adalah pilihan. Implikasi dari statement-nya itu mungkin hanya sebuah pesan bahwa hidup adalah seni (pembelajaran) dalam mengambil keputusan. Bahkan pada tataran yang lebih ‘ekstrem’, ia berkata dengan kalimatnya yang sangat ‘kreatif’, “aku memilih maka aku ada, aku bebas maka aku ada”. Menurutnya memilih dan bebas adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Karena hakikatnya, tak pernah ada pilihan jika tak ada kebebasan.
Kemudian jika ternyata pilihan kita benar, sudah tentu kita akan merasa bahagia. Tapi jika sebaliknya, pilihan kita ternyata kurang atau bahkan salah total, maka tetaplah yakin bahwa kesalahan adalah kebenaran yang tertunda. Betul? Dus, kurang pas rasanya ketika di kemudian hari ada penyesalan-penyesalan, karena yang semestinya dilakukan adalah menyadari bahwa kita harus bertanggung jawab terhadap segala konsekuensi logis yang ditimbulkan, apa pun dan bagaimana pun bentuknya.
Di samping itu, bukankah pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup? Ah, ternyata benar, tak ada di dunia ini yang benar-benar sia-sia, termasuk kesalahan sekalipun!.
Konklusi sederhananya adalah, meski sebenarnya masalah pilih-memilih tak sesederhana ini, sebuah petuah manis yang sering kita dengarkan, fakkir qobla an-ta’zim, berfikirlah sebelum bertindak alias bertindaklah setelah berfikir…
Berfikir yang bagaimana? Bukankah berfikir itu sangat terbatas dan amat tergantung pada kekuatan akal, suasana hati, dan pengalaman seseorang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar