Keajaiban. Kalau ada sebuah kebahagiaan yang tanpa kita sangka sebelumnya, itu keajaiban. Kalau tiba-tiba saja, dalam keadaan terdesak ingin dibunuh orang tapi ternyata orang yang mau membunuh kita tewas lebih awal, itu keajaiban. Kalau ada seorang pasien dan berdasarkan perhitungan medis sudah diramalkan bahwa umurnya tinggal seminggu lagi tapi dalam masa itu ia justru sembuh total, itu keajaiban. Ya, keajaiban adalah pemberian lebih dari Allah kepada hambaNya, atau mungkin itulah yang selama ini kita kenal dengan “min haitsu laa yahtasibu…”, sesuatu yang datang tanpa disangka dan dinyana. Berada diluar hukum klausalitas…
Keajaiban. Sebagaimana ada banyak orang yang mempercayainya, tidak sedikt pula yang tidak mempercayai. Hanya saja, tulisan ini bukan untuk membahas masalah itu. Dan bagaimanapun, saya percaya bahwa keajaiban itu ada. Karena menurut saya, keajaiban adalah sesuatu yang ghaib, dan sebagai orang islam, saya harus percaya terhadap sesuatu yang ghaib. Kuncinya mungkin satu; kita tidak perlu tahu segala sesuatu, kita hanya butuh percaya!
Kamis malam, tanggal 03 Agustus 2006, ketika saya berada di musolla, di tengah hiruk pikuk para santri yang sedang focus menyaksikan I’lan alfiyah, tiba-tiba ada seseorang yang menepuk pundak saya dari belakang,
“kamu yang bernama Mustafa Afif, ya?” sapanya agak ragu
“ya,” saya menjawab juga dengan agak sedikit tercengang. “ada apa?” masih dengan wajah heran…
“kamu dipanggil ustadz Muslim ke kamarnya. Sekarang!”
“sakalangkong…” ucapku padanya langsung beranjak pergi.
Seperti biasa, sebelum keluar dari musolla harus menghadapi wajah keamanan yang memang di setting seperti tazmania lagi marah. Karena alasan yang digunakan tetap, mudah saja saya keluar. Saya langsung menuju kamar ustadz Muslim, TU Madrasah Aliyah. Setelah di kamarnya, beliau langsung menunjukkan surat undangan dari Dikmenum itu kepadaku,
“kamu pernah ikut lomba? Ini, dapat undangan dari Jakarta!” simple sekali ucapan beliau, tapi itu cukup membuat jantungku seperti berhenti sejenak, merasakan semuanya seperti mimpi. Ya, di kertas itu tertulis nama saya, MUSTAFA AFIF, MA Mambaul Ulum Bata-Bata, Jawa Timur. “alhamdulillah” ucapku dalam hati. Dan tanpa berlama-lama disitu, saya langsung menuju ke kamar, syujud syukur. Ya, darahku terkesiap, mataku tiba-tiba mengkristal, bulu roma berdiri. Kebahagiaan yang sulit dibayangkan, sulit di deskripsikan.
Keajaiban. Itulah yang saya rasakan beberapa tahun lalu ketika saya mendapat undangan dari Dikmenum RI untuk mempresentasikan tulisan saya di depan juri pada lomba mengarang tingkat nasional 2006. Ya, waktu itu saya menjadi salah satu diantara dua puluh dua finalis dari seluruh Indonesia yang berhasil menyingkirkan sekitar dua ribu peserta lomba lainnya! atau salah satu dari empat wakil dari Jawa Timur, atau juga salah satu diantara tiga wakil dari pulau Madura.
Kalau mau jujur, saya tahu ini mungkin berkat usaha keras saya dalam berusaha dan berdo’a. Lalu kenapa saya masih menyebutnya sebuah keajaiban? Ya, karena ketakjuban dan rasa heran yang luar biasa mungkin. Pertama, awal mula saya menemukan brosur lomba itu justru malah di Bangkalan. Waktu itu, saya menjadi wakil pondok pesantren untuk mengikuti lomba deklamasi puisi pondok pesantren se-Madura di UNIJOYO dalam rangka Festival Seni Islam (FSI) dan Alhamdulillah menjadi juara tiga dengan puisi berjudul “Sandiwara Tipu Daya”. Saya menginap di Blega, tepatnya di pondok pesantren Al-Amien Fauzi, bersama famili saya yang kebetulan mondok disana. Dan ketika suatu kali saya jalan-jalan di gedung Madrasah Aliyah di kawasan pondok tersebut, saya melihat sebuah kertas berwarna biru langit tua jatuh tepat di bawah mading. Setelah saya ambil dan saya baca, ternyata itu brosur lomba mengarang tingkat SLTA nasional tahun 2006. Dan karena limit time-nya masih ada, waktu itu juga saya putuskan untuk berpartisipasi dalam lomba tersebut. Kedua, kemampuan menulis saya, apalagi dalam essai, masih benar-benar tak seberapa. Hanya sekedar tahu saja. Makanya waktu itu, saya memaksakan diri untuk meminjam buku di perpustakaan kampus al-Khairat. Karena saya tahu bahwa syarat utama menulis adalah data dan referensi. Aslinya tidak diperbolehkan karena saya bukan mahasiswa, tapi akhirnya saya mencapai kesepakatan dengan petugasnya; saya hanya diperbolehkan untuk meng-copy dua buku saja! (makasih ka’ Hadiri…). Benar-benar miskin referensi. Ketiga, biaya untuk mengikuti perlombaan itu, mulai dari foto copy tiga rangkap, biaya pengiriman pos kilat khusus dan lainnya, saya pinjam alias ngutang!. Keempat, dari limit time pengiriman yang tertera di brosur, tertera tanggal 03 Mei sebagai batas terakhir pengiriman naskah, dan saya mengirimnya pada tanggal 02 Mei. Hanya tinggal sehari, padahal kilat khusus ke Jakarta membutuhkan waktu dua hari! Untunglah masih keterima…
Sampai disini, anggap saja ini sebagai motivasi buat adik-adik saya yang ada di pondok pesantren bahwa prestasi itu adalah kemauan. Dan jika kemauan itu ada, suatu saat keajaiban akan menghampiri kita. Ia tidak bergantung fasilitas dan perangkat tambahan dalam sebuah sistem pendidikan. OK, itu memang penting. Tapi jangan jadikan alasan kekurangan atau ketiadaan itu, akan juga meniadakan prestasi kita. Setidaknya kita tahu apa yang tidak diketahui mereka. Istilahnya, (kita) prestisius (meski) dalam keterbatasan!. Semangat…
Analogi ‘manisnya’ mungkin seperti ini; kalau kita berada di sebuah lembaga pendidikan dengan fasilitas dan sistem pendidikan serta manajemen yang bagus, kemudian kita menjadi pintar, genius, dan anggap saja hebat. Menurut saya, itu biasa karena memang semua yang ada di sekitarnya mendukung untuk itu. Tapi jika sebaliknya, kita berada di lembaga pendidikan dimana fasilitasnya kurang, manajemennya juga kurang, system pendidikannya juga masih baru beranjak, tapi justru kita bisa mengalahkan (minimalnya bisa menyamai) mereka yang berada di lembaga yang pertama, ini LUAR BIASA! Meski ini mungkin sulit, tetap saja, ini LUAR BIASA!. Maaf ini tidak bermaksud membanding-bandingkan, karena setiap lembaga pendidikan pasti memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. ini murni pendapat pribadi saya…
Dan jika kalian tidak bisa berprestasi di bidang yang selama ini menjadi mainstream atau ciri khas pondok pesantren (baca dan fahmil kitab, penguasaan ilmu Quran dan ilmu hadits, hafalan al-Quran dan hadis, dan yang lainnya), mestinya mulai dari sekarang kalian harus mencari bidang lain di luar itu yang kalian sukai. Misalnya menulis, melukis, puisi, kaligrafi, Qiroatul Quran, apalagi jika sudah ada jurusan IPA di MA! Bukankah akan lebih luar biasa kalau pondok pesantren kita menjadi wakil Kabupaten, provinsi, atau bahkan Negara dalam ajang olimpiade eksakta? Ini lebih luar biasa lho… haqqan! (Duh, senangnya…) Dan saya, kebetulan menyukai menulis. Maka dengan sering ikut lomba dan beberapa kali juara, setidaknya mengobati kekecewaan saya yang mempunyai kemampuan tak begitu bagus dalam bidang yang menjadi ciri khas pesantren seperti di atas tadi! Maka selanjutnya, yakinlah bahwa ketika kalian sering membawa harum nama pondok pesantren kita di kancah local, regional, atau bahkan nasional, Barokah itu (insyaAllah ma’al yaqin) akan datang! Bukankah ini yang kalian semua tunggu? Barokah!!!
Haha, sepertinya saya sudah terlalu melenceng dari tema tentang perjalanan ini. Kita sambung pada bab-bab berikutnya lagi. Sekarang, kembali ke permasalah awal!
Ya, akhirnya dengan perasaan amat sangat bahagia, saya berangkat ke Jakarta untuk mempresentasikan delapan lembar tulisan essai saya tentang hiterogenitas kebudayaan Indonesia, dengan harapan semoga menjadi juara!
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar