Lagi-lagi, bangsa Indonesia harus berterima kasih
terhadap empat putra terbaiknya, Teuku Mahuzh
Aufarkari (SMAN 10 Fajar Harapan, Banda Aceh), Muhamad
Faiz (SMAN 10, Pacitan), William (SMA Sutomo I,
Medan), Vincentius Jeremi Suhardi (SMA St. Louis,
Surabaya) yang baru saja mengharumkan nama bangsa di
pentas internasional karena menjadi pemenang dalam
olimpiade kimia internasional (international Chemistry
Olimpiade) ke-39 yang dilaksanakan di Moskow, Rusia.
Mereka mampu bersaing dengan 280 siswa dari 68 negara
dan berhasil menggondol dua medali perak dan dua
medali perunggu. Itu artinya, prestasi tersebut lebih
baik ketimbang prestasi tahun lalu yang berhasil
membawa pulang empat medali perunggu.
Tak hanya dalam bidang kimia, tahun ini pun Indonesia
juga mendapatkan hasil yang memuaskan pada olimpiade
biologi internasional. Meski tidak seheboh olimpiade
fisika tahun lalu yang menobatkan Jonathan sebagai
siswa terpandai dalam bidang fisika se-dunia karena
memperoleh predikat absolute winner, tapi semua itu
adalah hasil kerja keras yang patut dihargai.
Realitas seperti itu setidaknya membuktikan bahwa
Indonesia masih mampu bersaing dengan dunia luar dalam
hal adu otak, di tengah system pendidikan yang
terkesan acakadut dan selalu memberikan ruang bagi
masyarakat untuk menolak dan mengkritik habis-habisan.
Apalagi jika sudah berkaitan dengan kebiasaan
gonta-ganti kurikulum sesuai dengan mood orang-orang
atas. Ini kabar yang sangat memberikan. Karena
ternyata Indonesia mampu menelurkan orang-orang yang
kompeten di bidang eksakta dan nantinya diharapkan
mampu meningkatkan persaingan dalam IPTEK (yang masih
berada di bawah Malaysia dan Singapura), disamping
untuk menghadapi tantangan globalisasi yang semakin
menggila.
Ya, saat ini “Habibi-habibi kecil” telah lahir dan
akan bertebaran untuk menggantikan habibie yang kini
tinggal menikmati hasil kerja kerasnya di Jerman.
Nukan di Indonesia. Ironis!
Belajar Dari Peristiwa Habibie
Habibie adalah contoh konkrit bagaimana orang
Indonesia juga mampu membuat dunia luar tercengang
dengan penemuan-penemuannya dalam berbagai disiplin
ilmu. Otaknya yang encer, intuisinya yang tajam, dan
visinya yang luas mampu memikat siapa saja yang
mengenalnya. Habibie diakui dunia dalam bidang
konstruksi pesawat terbang. Dengan nilai yang sangat
memuaskan ketika menempuh pendidikan di Jerman,
Habibie dilirik oleh perusahan-perusahan untuk
kemudian menjadikannya sebagai pegawai. Berkat
kepandaiannya, Habibie dijuluki dengan Mr. Crack
karena menjadi orang pertama di dunia yang mengetahui
secara persis hitungan keretakan pada pesawat terbang
hingga ke detail-detailnya. Tidak salah kiranya ketika
kemudian Habibie termasuk salah satu ilmuwan islam
yang mempunyai pengaruh dalam ilmu pengetahuan dan
tehnologi.
Tapi sayang, orang yang pernah menjadi presiden
Indonesia itu lebih memilih tinggal di Jerman setelah
lengser dari jabatannya. Entah, semua itu berangkat
dari kekerangan sikap patriotisme terhadap bangsa atau
bagaimana. Tapi yang jelas, dengan tinggal di Jerman,
habibie merasa lebih mempunyai masa depan dan
intelektualitasnya lebih dihargai di Jerman dari pada
di negeri sendiri. (Jawa Pos 01/08). Penulis berasumsi
bahwa, andai saja ada upaya pamerintah untuk
mempertahankannya dengan berbagai bentuk apresiasi dan
penghargaan, barangkali habibie akan tetap barada
disini. Di Indonesia ini. Karena bagaimanapun setiap
orang ingin berjasa terhadap tanah air tercinta. (jika
kemudian tidak di hargai? Itu dia masalahnya…).
Penghargaan Intelektualitas ; Sebuah Keniscayaan
Tampaknya kebiasaan Indonesia “membuang” asset-aset
berharga memang harus segera diberhentikan. Karena
jangan habibie, sumber daya alam (SDA) yang teramat
sangat penting dan potensial sudah banyak yang
dinikmati dan dikeruk oleh bangsa lain. Sedangkan
rakyat hanya menjadi penonton yang terkebiri atas
kejahatan yang diatasnamakan kebijakan.
Belajar dari peristiwa Habibie, seharusnya pemerintah
sudah harus mempersiapkan diri untuk membentengi
“Habibi-habibi kecil” yang mulai bermunculan. Jangan
sampai membiarkan orang lain yang memperoleh madu
hanya karena mampu memberikan “sesuatu yang lebih”
daripada Indonesia.
Telah banyak sebenarnya siswa berprestasi yang sudah
kecantol oleh bangsa lain, sebut saja oleh Singapura
sebagai salah satu peminat dengan iming-iming
fasilitas beasiswa penuh dan jaminan masa depan yang
lebih menjanjikan. Bagaimanapun juga Negara-negara
peminat itu bukan tanpa udang dibalik batu atau steril
dari tujuan tertentu, sebab dalam clausul pemberian
beasiswa, penerima beasiswa harus “mengabdikan diri”
dalam jangka waktu tertentu setelah memperoleh gelar
keserjanaannya. Untung bagi Indonesia, buntung bagi
Indonesia.
Dan salah satu kekurangan yang tampak dari Negara kita
adalah “ketidakmampuan” untuk menghargai orang-orang
yang telah berjasa. Maka dari itu, seharusnya
pemerintah mulai belajajar untuk memberikan
penghargaan (baca; menghargai) jerih payah orang-orang
yang berjuang atas nama bangsa, apalagi “Habibi-habibi
kecil” yang merupakan aset besar bagi negara ini.
Sangat amat disayangkan ketika potensi besar mereka
tidak diberdayakan dan dioptimalkan .
Dalam hal pemberian penghargaan dan apresiasi, selama
ini hanya diukur dari pemberian materi ketika pulang
ke tanah air atau mendapat undangan dari Presiden.
Memang itu juga berguna bagi mereka. Tapi, yang lebih
mereka butuhkan adalah bagaimana intelektualitas
mereka mampu dikembangkan dan nantinya akan
berpengaruh terhadap masa depan yang mereka
impi-impikan. Dalam hal ini pemerintah harus melakukan
usaha preventif untuk melindungi aset-aset
berharganya. Hal itu bias dilakukan dengan pemberian
beasiswa penuh untuk program S-1 dan diberikan
kebebasan untuk memilih perguruan tinggi (PT) sesuai
dengan kemauan, bakat, dan kemampuannya plus jaminan
hidup selama menempuh pendidikan. Toh, pada pada
dasarnya kualitas beberapa PT di Indonesia tidak kalah
bila dibandingkan dengan Negara lain. (Jawa Pos
30/08). Di samping itu, dengan mempertahankan
“habibi-Habibi kecil”, pemerintah atau orang tua
mereka dapat dengan mudah memantau sejauh mana
perkembangan yang telah diperoleh. Pun juga akan
memberikan kesempatan yang banyak untuk memupuk sikap
patriotisme mereka terhadap bangsa. Sehingga, mereka
akan selalu siap berdiri di garda depan atas nama
Indonesia dalam menghadapi persaingan global.
Bagaimanapun juga penghargaan terhadap para siswa yang
berprestasi sebagai “Habibi-Habibi kecil” merupakan
sebuah keniscayaan. Karena ketika mereka tidak
dihargai, mereka akan lebih memilih “kabur” dan
mencari masa depan di luar bangsa yang harus banyak
belajar tentang menghargai, berterima kasih, dan balas
budi ini. Bukankah di luar sudah banyak proposal luar
negeri yang ngantri?. Akhirnya, jagalah Aufar, Faiz,
William, dan Vincentius atau “habibi-habibi kecil”
lainnya. Jangan buang mereka (lagi) untuk yang
kesekian kali
Bata-Bata, 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar