Pages

Sabtu, 31 Juli 2010

Jakarta, I’m coming… (2)

Jum’at, tanggal 11 Agustus 2006, setelah shalat jum’at, saya meninggalkan pondok pesantren setelah sebelumnya pamit sama Gus Tohir dan beberapa ustadz lainnya. Tidak lupa ustadz Hosnan Zarkasyi, guru sekaligus ‘bapak’ ke-dua saya mungkin. Sedikit memohon bias barokah dari para guru yang sudah ikhlas mengajarkan saya berbagai ilmu. Fawaid sendiri sudah datang ke pondokku siang itu langsung dari pondoknya, An-Nuqoyah. Maka, siang itu, saya dan Fawaid berangkat menuju terminal Pamekasan. Dan karena kebetulan ada rombongan beberapa ustadz yang ingin pergi ke Pamekasan, akhirnya kami diajak untuk ikut bersama beliau-beliau. Kami diantar sampai ke terminal baru di Pamekasan, daerah Panglegur. Saya masih ingat waktu itu ada ustadz Imron, Ustadz Budi Santoso, Ustadz Hafidz, dll..
Dan siang itu dimana matahari yang bersinar begitu teriknya menjadi saksi tentang seorang anak yang berusaha berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Seorang anak yang baru saja di vonis ketinggalan kereta lantaran kebengalan dan kebangsatannya. Seorang anak yang mungkin setiap langkahnya di penuhi tanda tanya dan masalah yang bejibun. Seorang anak yang sedang mencari sepenuhnya arti diri dan kesabaran. Seorang anak yang berjanji untuk membahagiakan orang-orang yang ada di dekatnya. Dan usaha ini, hingga beberapa tahun kemudian masih menemui kebuntuan. Maka, setiap kali ia ingat itu, “sesulit itukah menjadi orang benar dan benar-benar baik?”, tanyanya dalam hati.

Di terminal kami menunggu bus tujuan Bungurasih. Kami memang tidak langsung berangkat ke Jakarta, karena Fawaid masih mau sowan dan pamitan dulu sama keluarganya di Paiton, Probolinggo. Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya datang juga. Tak ada banyak percakapan diantara kami, karena mungkin pikiran kami masing-masing sudah dipenuhi dengan satu nama, Jakarta. Sore hampir malam, kami tiba di terminal Bungurasih dan langsung mencari bus jurusan Probolinggo.
Dari Surabaya ke probolinggo ternyata jauh juga. Cukup untuk membuat hati ini merasa bosan. Tidur, bangun, tidur lagi, bangun lagi. Hati saya sedikit tersenyum ketika bus sudah melewati PLTU Paiton, meski masih jauh tapi cukuplah untuk membuat girang!. Akhirnya sampai juga. Setelah turun dari bus, saya langsung berpapasan dengan pintu gerbang selamat datang dimana tertulis dengan font besar, “Pondok Pesantren Paiton”. Karena sudah malam dan tidak mungkin untuk minta dijemput, Fawaid memutuskan untuk naik becak menuju rumahnya. Lumayan jauh, bilangnya pada saya ketika ditanya.
Lama becak itu berjalan memecah keheningan malam, akhirnya memasuki sebuah pintu gerbang khas ala pondok pesantren dengan penjaga santri yang mengenakan seragam pramuka. Saya sedikit kaget, kenapa memasuki kawasan pondok pesantren? Melihat wajah ‘para penjaga’ itu saya jadi teringat wajah-wajah para santri yang tertunduk ketika bertemu atau berpapasan dengan guru sebagai ungkapan ta’dzim. Haha, akhirnya saya tahu jawabannya. Ya, Fawaid ini adalah putera salah satu keluarga pondok pesantren Paiton. Abahnya masih atif sebagai dosen di IAINJ, sekaligus sebagai Purek. Jadi, ya, masih termasuk ‘keluarga ndalem’ barangkali…
Setelah sampai di depan rumah, kami disambut dengan bahagia. Saya langsung di suruh istirahat di kamar atas, kamarnya Ca’ Ilul yang sekarang kuliah di IPB Bogor dengan Beasiswa dari Depag. Tak ada banyak kegiatan yang saya lakukan, karena dunianya memang benar-benar berbeda dengan dunia yang saya jalani tiap hari. Hanya sesekali mencari angin dengan bersantai di loteng, meski yang terlihat hanya gedung-gedung sekolah dan mungkin asrama santri, saya juga kurang tahu. Dan di kamar itu, saya cuma istirahat dan membaca beberapa majalah, buku, dan bacaan lain yang berserakan, menandakan bahwa para penghuninya adalah keluarga yang mempunyai hobbi sama; membaca!.
Keesokan harinya, saya juga tidak kemana-mana, masih tetap anteng di kamar. Selain memang tidak ada niatan untuk jalan-jalan, saya juga prepare dengan sedikit beres-beres barang dan membaca tulisan yang akan saya pertahankan dalam presentasi. Sempat bingung karena sebelumnya tidak saya persiapkan dalam bentuk Microsoft Power Point, tapi akhirnya tenang juga karena bisa membuatnya sesaat sebelum berangkat dari pondok kemarin.
Detik-detik seperti berjalan sangat lambat, seperti siput yang sedang kelaparan. Sebenarnya, masalah waktu adalah masalah mood alias keadaan jiwa. Meski sama, itu akan membuat kesan yang berbeda. Satu jam bersama istri tercinta, apalagi baru menikah, seperti satu menit saja, seperti tak ada siang, hanya malam yang selalu diharapkan. Tapi satu jam dalam penjara atau satu jam ketika baru pertama kali sampai di pondok seperti setengah hari saja!. Ya, keadaan jiwa, akan menentukan menikmati dan tidaknya sebuah perjalanan waktu. Dan ini juga sangat penting untuk diterapkan dalam dunia pendidikan. Bagaimana sekolah dan guru menciptakan situasi yang nyaman bagi para siswa sehingga akan selalu ‘merasa sebentar’ ketika berada di sekolah meski sudah setengah hari terkurung dalam lingkungan atas nama lembaga pendidikan.
Selanjutnya, sekitar jam 15.00 siang, kami dengan diantar oleh keluarga Fawaid berangkat menuju kantor cabang salah satu perusahaan bus di kota Probolinggo. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya datang juga bus itu. Setelah berpamitan, kami langsung menaiki bus dan duduk lima baris di belakang pak supir. Beberapa saat setelah Karina yang kami naiki beranjak pelan-pelan, sedikit terbersit dalam hati saya, “Jakarta, wait me there!”…
Duduk manis begitu saja di dalam bus selama berjam-jam tentu bukan sesuatu yang menyengkan, bosan. Maka, bagi saya, untuk menetralisir hal seperti itu tak ada lain kecuali tidur sepuasnya. Apalagi dilengkapi dengan selimut dan AC plus lagu-lagu lawas yang mengalun mesra disela-sela riuh keramaian kendaraan lain, enaknyeee.... Dan setiap kali bangun langsung bertanya pada orang di sekitar, “sudah dimana?”. Ah, semalam di bus, hanya dilalui dengan tidur, berdiri, duduk, berdiri lagi, sekedar meregangkan tulang-tulang biar tidak kram.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar